Friday, December 31, 2010

Gubernur Jogja


Pemilihan Vs Penetapan Gubernur Jogja

Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jogja tergelitik juga akhirnya untuk buat tulisan, menuangkan pikiran tentang tanah kelahiran he..he... (inilah yang disebut oleh Rhenald K. sebagai cohort…mengingat2 masa lalu).

Orang Jogja dalam hal berbahasa pada umumnya, sekali lagi pada umumnya-tidak semua, mempunyai karakteristik sebagai type high context. Orang yang mempunyai karakteristik seperti ini tidak akan secara tegas mengatakan apa yang ada dikepala dan pikirannya. Bahasa dan perilaku yang dipilih akan menggunakan symbol-simbol. Maunya A bilangnya B. Lihatlah pada upacara pernikahan adat Jogja, banyak sekali perlambang-perlambang yang dipakai. Pake getepe, pakai jualan dawet pake wingko, midodareni, dll…. Banyak sekali “sanepa”-semacam peribahasa yang ada di Jogja.

Sementara tipe yang berlawanan adalah tipe low context. Di Indonesia orang tipe seperti ini kita temukan pada orang batak, mereka terkenal ngomong apa adanya, ceplas-ceplos. Begitu gak suka bilang tidak suka, dst.

Dengan background seperti diatas, maka mudah-mudahan kita dapat memahami tindak-tanduk Sultan HB X ini dalam hal pemilihan dan penetapan Gubernur DIY. Cobalah perhatikan ketika Sultan HB X ini diminta komentarnya tentang penetapan atau pilihan secara langsung untuk posisi Gubernur DIY. Jawabannya selalu “saya serahkan sepenuhnya keputusan kepada rakyat”. Begitupun juga ketika ada keinginan untuk menjadi presiden, diadakanlah pisowanan agung yang “meminta” untuk menjadi presiden. Semuanya dalam bungkus aspirasi rakyat. Aspirasi Sultan sendiri seperti apa? Kok gak bunyi ya… Inilah high context orang Jogja. Sebenernya pingin tapi lewat orang lain lah… nanti dikira gila kekuasaan, rakyat kok yang minta bukan saya..begitulah katup penyelematnya (hue..he…he…)

Kemudian bagaimana aspirasi rakyat terbentuk?

Inilah yang kemudian beberapa pihak bermain. Ditataran publik, media massa dipercaya sebagai alat ampuh untuk mempengaruhi orang-orang untuk mempunyai sikap dan pikiran yang sama. Harian terbesar di Jogja adalah Kedaulatan Rakyat-KR. Walaupun pers dituntut untuk bersikap objektif namun pasti tidak bisa lepas dari kepentingan pemodalnya. Pemilik KR dekat dengan keraton, itu sangat jelas. Media Indonesia juga dekat dengan keraton-Sultan dan Surya paloh sama2 di Nasional Demokrat. Metro TV secara intense dan berulang ulang memblow-up pidato SBY dan masalah penetapan gubernur DIY. Dilevel grassroot-akar rumput digarap melalui paguyuban-paguyuban lurah yg ada di Jogja. Semuanya bicara tentang penetapan sultan otomatis sebagai gubernur DIY, tanpa melihat opsi yang lain. Kalau ada opsi berarti kita harus menimbang-nimbang, opsi mana yang baik bagi kita…. Jangan secara buta langsung setuju atau tidak.

Penetapan secara langsung bahwa sultan HB akan menjadi Gubernur DIY membawa konsekuensi pada hilangnya control rakyat terhadap baik-buruknya pemerintahan. Ya kalau dapat sultan yang capable, baik, mampu memimpin, aspiratif, dll. Sultan HB IX terbukti mempunyai visi yang jauh dan aspiratif. Selokan mataram sebagai bukti kecintaan beliau terhadap rakyatnya. Dari pada rakyat mataram disuruh kerja paksa oleh Belanda, Sultan HB IX berinisiatif membuat selokan mataram untuk menyelamatkan rakyatnya. Tapi bagaimana dengan Sultan HB X, HB XII, HB XIII, dst. Apakah kita dapat menjamin future leader tersebut punya kapasitas menjadi pemimpin orang jogja? Kalau baca buku babad tanah jawa, terdapat fakta tentang pasang surut kualitas Sultan Mataram.

Yang masih harus dipikir adalah bagaimana menghargai nilai historis keraton Jogja dalam ikut membangun Negara RI. Apakah penghargaan itu dalam bentuk privilege jadi Gubernur DIY? Saya kira ada cara lain yang mesti kita pikirkan secara lebih bijaksana dan tidak dengan hati yang panas….

Hidup Jogjaku…