Friday, October 29, 2010

DPR: Benchmarking apa Plesiran


Kebiasaan DPR yang tengah disorot saat ini adalah Plesiran DPR ke Luar Negeri. Ada yang ke Belanda, Yunani, Inggris, dan ketempat lainnya. Yang menjadi keprihatinan adalah efektivitas kegiatan ini.

Didalam ilmu manajemen kegiatan benchmarking menjadi salah satu alat untuk mengembangkan sistem. Didalam knowledge management juga ada kegiatan COP (common practices). Keduanya adalah untuk mengembangkan knowledge kita dengan membandingkan praktek yang kita lakukan dengan praktek orang lain. Yang menarik adalah apakah DPR kita ini sangat bermental inferior, dengan harus meniru praktek orang lain, apakah tidak sebaiknya kita secara inovatif mengembangkan sendiri model-model kebijakan publik kita.

Bukankah untuk mencari knowledge kita tidak harus bertemu secara langsung tacit-to-tacit. Jika memang itu harus dilakukan apakah dengan waktu 2-3 hari dapat menyerap semua aspek praktek-praktek sistem di negara lain tersebut. Saya pernah mendampingi anggota Dewan Yang Terhormat ini ke negara tetangga sebelah. Hm...mmm kayaknya tidak efektif. Datang, tanya sana tanya sini, sekitar 3 jam, setelah itu ada acara seremoni, makan, pindah ketempat lain tanya sana-sini 2 jam. selesai. Habis itu ketempat rekreasi, belanja.... uhhh... Padahal untuk mempelajari sistem ini dibutuhkan bertahun2 dengan membaca sekian buku, diskusi dengan pakar, kemudian melihat kondisi lapangan, ada adjustmen budaya, ekonomi, politik, teknologi dan seabreg faktor lainnya. Butuh effort yang besar.

Yang membuat heran lagi, kunjungan ini dilakukan pada saat bangsa Indonesia sedang terkena berbagai musibah. Dimana kepekaan mereka terhadap derita disekitarnya? Terakhir kepegiannya dilakukan secara diam-diam. Jika dilakukan diam-diam berarti perbuatan itu memalukan. Ketua DPR ketika ditanya bilang "Ketua tidak dapat membatalkan". Lalu anggota DPR yang akan pergi ketika ditanya "ini amanah dari pimpinan DPR". Kelihatan ngelesnya.

Masih banyak lagi tingkah DPR kita yang membuat prihatin. Kritik dan saran menandakan kita masih sayang sama mereka.... Kecuekan menandakan ketidakpedulian kita. So, semoga cepat berubah lebih baik lagi.



Pemerintah maunya apa?


Banjir yang meluluhlantakan tatanan ibu kota Jakarta terjadi pada tanggal 18 Oktober 2010. Dimulai dengan hujan deras mulai jam 15.00 s/d jam 18.00. Cukup membuat genangan air dimana-mana. Mode transportasi lumpuh, beberapa sungai meluap. Jalanan penuh dengan mobil, motor, dan orang-orang yang terjebak tidak bisa pulang. Moda transportasi kereta rel listrik juga lumpuh. Banyak teman sampai dirumah jam 23.00 malam, bahkan ada jam 2 dinihari baru sampai rumah.

Banyak omelan kepada penanggungjawab ibukota, siapa lagi kalau bukan bang kumis alias Mr. Fauzi bowo-Foke. Orang masih ingat pada waktu kampanye jargonnya adalah "serahkan pada ahlinya". Kemacetan, banjir, akan beres semua. Sayangnya ini menjadi semacam over promise under delivery. Tetap saja kemacetan makin lama makin parah, banjir juga demikian.

Kalau boleh menganalisa, permasalahan di ibukota karena banyaknya orang yang tinggal di Jakarta ini. "Gula Jakarta telah menyedot jutaan orang untuk datang ke Jakarta mencicipi manisnya gula". Coba kalau gula-gula ini lebih terdistribusi ke beberapa kota di Indonesia. Tentunya beban Jakarta akan sedikit terkurangi. Beberapa negara telah memisahkan antara pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Malaysia dengan Putrajaya dan Kuala Lumpur, Sydney dan Canberra di Australia (CMIIW), dan beberapa negara lain.

Permasalahan lain adalah tidak adanya visi pemerintah kita untuk memberikan fasilitas yang nyaman kepada warganya. Lihatlah proyek monorail yang mandeg, proyek busway yang kelar2, tidak adanya kebijakan yang jelas mengenai pengaturan lalulintas (misal pembatasan kendaraan berdasarkan plat nomer, tahun pembuatan, ataupun cara lain, yg penting ada pengaturan yang jelas). Berapa sih dana dibutuhkan untuk buat monorail, membuat MRT Jakarta dan kota sekitarnya? 10, 20, 50, atau 100 triliun rupiah? Ataukah pemerintah takut untuk tidak populis? Harus berani donk. Masak kalah sama Sutiyoso dan Suharto.

Sementara untuk BLBI yg ternyata banyak dikemplang tikus-tikus kerah putih, pemerintah bersedia mengalokasikan ratusan triliun rupiah. Ataukah pemerintah terbelenggu kepentingan pemilik modal? Hanya Allah yang tahu. Wallahu alam bisawab.

Tulisan ini atas dorongan teman saya Mas Tatok Kurnianto untuk terus menulis...thanxs ya mas. yang penting nulis dulu.